Selasa, 13 November 2012

Review Puisi Esai “Bunga Kering Perpisahan”



Judul Buku                  : Atas Nama Cinta, Sebuah Puisi Esai, Isu Diskrimasi dalam Untaian
  Kisah Cinta yang Menggetarkan Hati.
Penulis                         : Denny J.A.
Penerbit                       : Renebook House of Enlightenment & Eternity
Kota Terbit                  : Jakarta Selatan
Tahun Terbit                : April 2012
Jumlah Halaman          : 215
Warna Jilid Buku        : merah
Jenis Buku                   : faksi (fakta dan imajinasi)
Nomor ISBN              : 978-602-19153-2-5
Cetakan                       : ke-1

Cinta di Titik Nol
Oleh Wilda Widyawati

Denny Januar Ali, seorang pakar politik yang kariernya telah melejit sampai ke dunia usaha, antara lain: konsultan, food and beverage, properti, dan tambang. Sebagai konsultan politik, dia memberikan kontribusi dalam menganalisis perkembangan politik Indonesia. Berikut buah pena karya pria kelahiran Palembang, Sumatera Selatan, 4 Januari 1963:
1.        Manufer Elit, Konflik dan Konservatif Politik Opini di: Koran Tempo , LKiS, 2006.
2.        Para Politisi dan Lagunya Kumpulan Kolom: Rakyat Merdeka, Sindo, LKis 2006.
3.        Jatuhnya Soeharto dan Transisi Demokrasi Indonesia ( Denny JA, LKis ) , 2006.
Tiga judul buku di atas adalah sebagian dari mahakaryanya. Seolah tidak puas dengan prestasi yang diraih, pria bergelar Ph.D. dari Ohio State University, Amerika Serikat bidang Comparative Politics ini melebarkan sayapnya ke ranah jurnalistik, host untuk program politik di Metro TV dan Radio Delta FM (2002), Direktur eksekutif Universitas Jayabaya Jakarta.
            Denny membuat gebrakan baru yaitu peluncuran sebuah buku Atas Nama Cinta yang berisi kumpulan puisi esai tentang isu diskriminasi dalam untaian kisah cinta yeng menggetarkan hati. Walaupun puisi, tulisannya tetap berbalut argumentatif. Buku ini berjenis faksi (fakta dan imajinasi) karena di dalamnya berisi rangkaian kejadian autentik dan dipadukan dengan cerita fiktif agar lebih variatif dan inovatif.
            Sama halnya dengan “Romi dan Yuli dari Cikeusik”, puisi “Bunga Kering Perpisahan” ini mengusung tema tentang kasih tak sampai. Dewi seorang gadis muslimah dan Albert anak pendeta. Mereka sudah saling mengenal sejak kecil dan mengalami banyak kecocokan dalam berbagai hal. Ketika mereka tumbuh dewasa, timbullah benih-benih cinta. Rasa itu semakin kuat sehingga mereka pernah berjanji untuk terus hidup bersama. Kisah cinta mereka diketahui oleh ayah Dewi. Ayahnya langsung terperanjat emosi dan tanpa konfirmassi, dia langsung menjodohkan anaknya dengan Joko, seorang santri. Tekad ayah sudah bulat dan mutlak, pernikahan pun terjadi.
            Dewi dan Joko telah sepuluh tahun mengarungi bahtera rumah tangga, namun Dewi tak mampu mengganti sosok Albert dalam hatinya. Semakin ingin dilupa semakin ingat masa-masa indah yang telah dibina dulu. Dewi sakit, Joko sakit, dan Albert pun sakit. Pada akhirnya tibalah waktu Joko dipanggil ke alam baka oleh Sang Khalik setelah mengarungi hidupnya dengan Dewi tanpa warna. Dewi sudah membulatkan tekad untuk segera menemui Albert. Namun, bagaikan disambar petir di siang bolong, tiba-tiba Dewi mendengar kabar dari Ibu Albert bahwa Albert telah meninggal dunia saat melakukan pendakian terakhir. Sepucuk surat diterima oleh Dewi, tulisan tangan Albert berbunyi: “Dewi, mungkin sudah kaukirim kembali bunga kering itu sekarang. Tapi yang akan kauterima hanya surat ini. Aku tak berniat mengingkari janji! Aku sekarang mungkin ada di alam lain dan janjiku tetap seperti dulu. Cintaku hanya untukmu yang tak sampai hanya karena kita beda agama.”
Dua laki-laki yang pernah dekat dengan Dewi akhirnya meninggalkannya untuk selama-lamanya. Begitulah naluri manusia yang selalu mengikuti perasaan tanpa mengaitkan dengan logika. Cintailah makhluk-Nya karena Allah. Manusia merupakan makhluk fana, sedangkan Allah sejati tak lekang oleh waktu. Jika kita berprinsip seperti itu, kita tidak akan menggantungkan hidup dan mati kita terhadap ciptaan-Nya. Bagai bergantung di akar lapuk, ungkapan ini sangat cocok dengan kisah ini karena Dewi telah menggantungkan cintanya kepada Albert yang tak kuasa memberikan cinta yang kekal. Setelah kematian datang menjemputnya, dia pun pergi menggoreskan kesedihan di relung jiwa Dewi. Jika Dewi ikhlas menjalani semua itu, mungkin kejadiannya tidak akan sepelik itu. Joko pun akan bertahan hidup di dunia ini karena cinta. Jika Albert membuka hati untuk wanita lain, dia pun akan hidup bahagia dan tidak menyia-nyiakan waktu karena hidup ini hanya satu kali. Secara medis juga telah terbukti bahwa dengan merasa bahagia secara mental dan fisik akan meningkatkan fungsi kekebalan tubuh seseorang.
            Nabi Muhammad SAW., menggolongkan manusia menjadi tiga, yaitu: “Barangsiapa yang hari ini lebih baik daripada hari kemarin maka dia adalah orang yang beruntung, barangsiapa yang hari ini sama seperti hari kemarin maka dia orang yang merugi, dan barangsiapa yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin maka dia adalah orang yang celaka.” Dewi dan Albert termasuk golongan ketiga dari hadis tersebut karena semakin hari kehidupan mereka semakin buruk.  Nabi SAW., "Pada waktu malam saya diisrakkan sampai ke langit, Allah SWT., telah memberikan lima wasiat, diantaranya :
1.    Janganlah engkau gantungkan hatimu kepada dunia karena sesungguhnya Aku tidak menjadikan dunia ini untuk engkau.
2.    Jadikan cintamu kepada-Ku sebab tempat kembalimu adalah kepada-Ku.
3.    Bersungguh-sungguhlah engkau mencari surga.
4.    Putuskan harapan dari makhluk karena sesungguhnya mereka itu sedikitpun tidak ada kuasa di tangan mereka.
5.    Rajinlah mengerjakan sembahyang tahajud karena sesungguhnya pertolongan itu berserta qiamullail.
Kelebihan buku ini adalah terdapat footnote atau catatan kaki yang memperluas cakrawala kita tentang ilmu-ilmu yang belum pernah kita ketahui. Jadi, membaca buku fiksi, tapi seperti membaca buku nonfiksi. Penulis berimajinasi sesuai dengan bukti autentik. Ini merupakan terobosan baru dalam dunia sastra. Namun, dalam membaca buku ini dibutuhkan personal yang ahli dalam berbagai disiplin ilmu. Tanpa pengetahuan yang memadai dikhawatirkan terjadi miskonsepsi.
Pemahaman sekuler lebih ditonjolkan dalam buku ini. Atas segala ketidakmampuannya, Albert pun berkata, “Umat manusia, sudah lebih dari 150 ribu tahun umurnya. Berturut-turut agama pun diturunkan, diwartakan, dipertentangkan. Manusia lebih tua dari agama. Sudah ada cinta sejak manusia diciptakan-Nya. Cinta lebih tua dari agama. Janganlah agama mengalahkan cinta”. Begitulah kerangka berpikir penulis yang dituturkan lewat tokoh dalam cerita ini. Lalu, apa dasar penulis mengatakan cinta lebih tua dari agama? Sejarah masa lalu dalam hidup manusia tidak bisa dijadikan dalil yang akurat karena kehidupan manusia tidak sama masanya. Kita tidak bisa menghakimi suatu perkara di zaman yang berbeda. Ada banyak hal yang lebih tua dari agama. Apa itu berarti tidak bisa diatur oleh agama? Justru agama datang untuk menertibkan yang lebih tua. Jika menggunakan persepsi seperti ini, manusia pun bisa dikategorikan lebih tua daripada agama. Jadi, manusia mana yang hidupnya tidak diatur oleh agama?
Berikut ini paham yang salah tentang pernikahan beda agama menurut Ali (2012) dalam Mulia, dkk. (2003):
Ada keterangan bahwa Nabi Muhammad SAW., pernah menikah dengan Maria Qibtiyah, seorang perempuan beragama Kristen Koptik Mesir dan Sophia yang beragama Yahudi. Para sahabat seperti Usman bin Affan menikah dengan Nailah binti Quraqashah al-Kalbiyah yang Nasrani, Thalhah bin Ubaidillah menikah dengan perempuan Yahudi di Damaskus, Huzaifah menikah dengan perempuan Yahudi di Madyan. Para sahabat lain, seperti Ibnu Abbas, Jabir, Ka’ab bin Malik, dan Al-Mughiroh bin Syu’ban juga menikah dengan perempuan-perempuan ahli kitab. Keterangan ini disampaikan oleh Prof. Musdah Mulia, Prof. Kautsar Azhari Noer, dan Prof. Zainun Kamal dalam Klub Kajian Agama (KKA) ke-200, yang digelar Yayasan Paramadina pada 17 Oktober 2003 dalam laporan “Tafsir Baru atas Nikah Beda Agama”.
Pernyataan tersebut sangat kontradiksi dengan kenyataan sebenarnya karena tidak ada sejarah dan ayat yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad telah menikah dengan Maria Qibtiyah. Fakta yang terjadi adalah Maria Qibtiyah seorang hamba sahaya nabi Muhammad yang telah diperlakukan layaknya seorang istri oleh beliau. Tradisi pada zaman tersebut yaitu seorang hamba sahaya tidak dinikahi oleh tuannya. Sebelum Islam diturunkan, perbudakan sangat merajalela dan tidak ada batasan yang membatasi, artinya siapa saja bisa dijadikan budak dengan cara apapun, seperti dirampas, diculik, dan sebagainya. Namun ketika Islam datang, perbudakan sangat dibatasi, yaitu hanya tawanan perang yang boleh dijadikan budak, sebab hal ini sudah menjadi konvensi internasional, orang Islam pun yang ditawan oleh musuh akan dijadikan budak. Namun demikian, Islam sangat menganjurkan kepada umatnya untuk memerdekakan para budak, diantaranya dijadikan sebagai tebusan untuk membayar kafarat dalam beberapa pelanggaran syariat, seperti kafarat sumpah, membunuh dengan tidak sengaja dan sebagainya. Dalam Islam budak perempuan dihalalkan untuk digauli sebagaimana layaknya seorang isteri, namun budak tersebut hanya boleh digauli oleh tuannya saja. Artinya budak yang dimiliki oleh seorang bapak tidak boleh digauli oleh anaknya atau siapapun juga. Bahkan apabila dia telah melahirkan anak, ummul walad, tuannya tidak boleh menjualnya kepada yang lain, tetapi dia harus terus memeliharanya atau memerdekakannya. Diantara dalilnya adalah ayat di atas dan beberapa ayat berikut ini: “Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina” (QS. Annisa:24). Perlu dicatat karena ayat-ayat Alquran itu diwahyukan oleh Allah secara bertahap, masa itu hamba sahaya masih berlaku. Kita tidak bisa menghakimi suatu perkara di zaman yang berbeda karena waktu itu belum ada pedoman yang mengecam perlakuan terhadap hamba sahaya.
Pada zaman dahulu pernikahan ahlul kitab–Nasrani pengikut nabi Isa, Yahudi pengikut nabi Musa dan nabi Daud–diperbolehkan karena mereka memegang satu kepercayaan yaitu Allah SWT. Akan tetapi, saat ini kitab Injil, Zabur, dan Taurat sudah mengalami penyimpangan tentang penyekutuan Allah. Di dalam Injil dahulu, nabi Muhammad sebagai penutup, sedangkan nabi Isa adalah utusan Allah. Tapi, kitab Injil yang sekarang mengatakan bahwa nabi Isa yang dinamakan oleh mereka sebagai yesus dianggap sebagai anak Allah. Allah sudah menghapuskan pernikahan ahlul kitab dalam surat (Albaqarah:221) yang berbunyi: “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.”
Islam membolehkan pernikahan beda agama kalau terpaksa dan syaratnya laki-laki itu harus muslim. Denny J.A., Prof. Musdah Mulia, Prof. Kautsar Azhari Noer, dan Prof. Zainun Kamal mengambil dalil dalam Alquran sepotong-sepotong, jadi pemahamannya pun setengah-setengah. Jika hal ini terjadi, kita bisa tersesat terutama kaum awam yang mudah terhasut oleh paham baru. Contoh kutipan ayat yang hanya diambil setengah, alladinahum an solatihim saahun ‘bagi orang yang lalai di dalamnya’, sangat jelas terlihat penyimpangannya. Hal ini merupakan amanah dari Allah jika kita keliru dalam penyampaiannya, azab Allah sangat pedih. Musda tidak mengisahkan lagi kalau perempuan yang beda agama itu harus mengikuti agama suami.  Fatwa MUI menyatakan bahwa seandainya sudah terjadi pernikahan, istri wajib ikut agama suami dan suami harus yang muslim. Kalau pernikahan wanita muslim dengan laki-laki nonmuslim itu jelas haram secara hukum dan syara. Musda mulia juga tidak mengerti kedudukan nonmuslim zaman dahulu dengan sekarang itu berbeda.  “Dan dihalalkan mangawini wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Alkitab sebelum kamu.” (Almaidah:5)

Taurat adalah tulisan berbahasa Ibrani, berisikan syariat (hukum) dan kepercayaan yang benar dan diturunkan melalui Musa. Isi pokok Taurat adalah sepuluh firman Allah bagi bangsa Israel. Selain itu, Taurat berisikan tentang sejarah nabi-nabi terdahulu hingga Musa dan kumpulan hukum. “(Tuhan Allah) telah menurunkan kitab kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab yang terdahulu dari padanya, lagi menurunkan Taurat dan Injil” (Alimran: 3). Kemudian, dikirimkanlah Zabur kepada nabi Daud yang berisi pujian untuk Allah. Namun, kitab ini tidak mengandung syariat karena Daud diperintahkan untuk meneruskan syariat yang telah dibawa oleh Musa. “Dan kami telah memberi kitab Zabur kepada Nabi Daud” (Annisa: 163).  Setelah itu, muncullah Injil yang pertama kali ditulis menggunakan bahasa Suryani melalui murid-murid Isa untuk bangsa Israel sebagai penggenap ajaran Musa. Kata Injil sendiri berasal dari bahasa Yunani yaitu euangelion yang berarti ‘kabar gembira’. Injil-injil tidak mempunyai pembahasan sistematis mengenai satu tema atau tema-tema tertentu meskipun di dalamnya banyak membahas hal kerajaan Surga. “Dan Kami iringkan jejak mereka (nabi nabi Bani Israil) dengan Isa putera Maryam, membenarkan Kitab yang sebelumnya, yaitu: Taurat. Kami telah memberikan kepadanya Kitab Injil sedang di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), dan membenarkan kitab yang sebelumnya, yaitu Kitab Taurat. Dan menjadi petunjuk serta pengajaran untuk orang-orang yang bertakwa” (Almaidah 5:46). Akhirnya Allah mengwahyukan Kitab Suci Alquran kepada Nabi Muhammad saw., pelengkap dari ketiga kitab terdahulu, sebagai pedoman hidup bagi seluruh umat manusia karena di dalamnya berisi panduan filsafat semesta, catatan sejarah, peringatan-peringatan dan motivasi, dasar-dasar hukum, serta doa-doa. “Tidaklah mungkin Alquran ini dibuat oleh selain Allah, akan tetapi (Alquran itu) membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang telah ditetapkannya, tidak ada keraguan di dalamnya, (diturunkan) dari Tuhan semesta alam” (QS. Yunus:37). “Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya” (QS. Yusuf:2).

Saat ini, Taurat, Zabur, dan Injil telah diselewengkan isinya. “Dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya, di kala mereka berkata: “Allah tidak menurunkan sesuatupun kepada manusia.” Katakanlah: “Siapakah yang menurunkan kitab (Taurat) yang dibawa oleh Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia, kamu jadikan kitab itu lembaran-lembaran kertas yang bercerai-berai, kamu perlihatkan (sebahagiannya) dan kamu sembunyikan sebahagian besarnya, padahal telah diajarkan kepadamu apa yang kamu dan bapak-bapak kamu tidak mengetahuinya?” Katakanlah: “Allah-lah (yang menurunkannya)”, kemudian (sesudah kamu menyampaikan Alquran kepada mereka), biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya” (QS. Al An’am:91). 
               Kelemahan buku ini adalah kurang utuhnya cerita yang memberikan kesan menggantung terlihat dari fakta yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad pernah menikah dengan wanita beragama Kristen. Denny seharusnya memberikan klarifikasi tentang kondisi agama dan kitabnya pada zaman dahulu hingga sekarang agar tidak terjadi indoktrinisasi dan miskonsepsi untuk para pembaca awam. Buku ini cocok untuk kaum yang sudah sangat paham tentang agama, politik, budaya, dan sosial.