Judul
Buku :
Atas Nama Cinta, Sebuah Puisi Esai, Isu Diskrimasi dalam Untaian
Kisah Cinta yang Menggetarkan Hati.
Penulis :
Denny J.A.
Penerbit :
Renebook House of Enlightenment & Eternity
Kota
Terbit : Jakarta Selatan
Tahun
Terbit :
April 2012
Jumlah
Halaman : 215
Warna
Jilid Buku : merah
Jenis
Buku : faksi (fakta dan
imajinasi)
Nomor
ISBN : 978-602-19153-2-5
Cetakan : ke-1
Cinta di Titik
Nol
Oleh Wilda
Widyawati
Denny Januar Ali, seorang pakar politik
yang kariernya telah melejit sampai ke dunia usaha, antara lain: konsultan, food and beverage, properti, dan
tambang. Sebagai konsultan politik, dia memberikan kontribusi dalam menganalisis
perkembangan politik Indonesia. Berikut buah pena karya pria kelahiran
Palembang, Sumatera Selatan, 4 Januari 1963:
1.
Manufer
Elit, Konflik dan Konservatif Politik Opini di: Koran Tempo , LKiS, 2006.
2.
Para
Politisi dan Lagunya Kumpulan Kolom: Rakyat Merdeka, Sindo, LKis 2006.
3.
Jatuhnya
Soeharto dan Transisi Demokrasi Indonesia ( Denny JA, LKis ) , 2006.
Tiga judul
buku di atas adalah sebagian dari mahakaryanya. Seolah tidak puas dengan
prestasi yang diraih, pria bergelar Ph.D. dari Ohio State University, Amerika
Serikat bidang Comparative Politics ini melebarkan sayapnya ke ranah
jurnalistik, host untuk program
politik di Metro TV dan Radio Delta FM (2002), Direktur eksekutif Universitas
Jayabaya Jakarta.
Denny membuat gebrakan baru yaitu
peluncuran sebuah buku Atas Nama Cinta
yang berisi kumpulan puisi esai tentang isu diskriminasi dalam untaian kisah
cinta yeng menggetarkan hati. Walaupun puisi, tulisannya tetap berbalut
argumentatif. Buku ini berjenis faksi (fakta dan imajinasi) karena di dalamnya
berisi rangkaian kejadian autentik dan dipadukan dengan cerita fiktif agar
lebih variatif dan inovatif.
Sama halnya dengan “Romi dan Yuli
dari Cikeusik”, puisi “Bunga Kering Perpisahan” ini mengusung tema tentang
kasih tak sampai. Dewi seorang gadis muslimah dan Albert anak pendeta. Mereka
sudah saling mengenal sejak kecil dan mengalami banyak kecocokan dalam berbagai
hal. Ketika mereka tumbuh dewasa, timbullah benih-benih cinta. Rasa itu semakin
kuat sehingga mereka pernah berjanji untuk terus hidup bersama. Kisah cinta
mereka diketahui oleh ayah Dewi. Ayahnya langsung terperanjat emosi dan tanpa konfirmassi,
dia langsung menjodohkan anaknya dengan Joko, seorang santri. Tekad ayah sudah
bulat dan mutlak, pernikahan pun terjadi.
Dewi dan Joko telah sepuluh tahun
mengarungi bahtera rumah tangga, namun Dewi tak mampu mengganti sosok Albert
dalam hatinya. Semakin ingin dilupa semakin ingat masa-masa indah yang telah
dibina dulu. Dewi sakit, Joko sakit, dan Albert pun sakit. Pada akhirnya
tibalah waktu Joko dipanggil ke alam baka oleh Sang Khalik setelah mengarungi
hidupnya dengan Dewi tanpa warna. Dewi sudah membulatkan tekad untuk segera
menemui Albert. Namun, bagaikan disambar petir di siang bolong, tiba-tiba Dewi
mendengar kabar dari Ibu Albert bahwa Albert telah meninggal dunia saat
melakukan pendakian terakhir. Sepucuk surat diterima oleh Dewi, tulisan tangan
Albert berbunyi: “Dewi, mungkin sudah kaukirim kembali bunga kering itu
sekarang. Tapi yang akan kauterima hanya surat ini. Aku tak berniat mengingkari
janji! Aku sekarang mungkin ada di alam lain dan janjiku tetap seperti dulu.
Cintaku hanya untukmu yang tak sampai hanya karena kita beda agama.”
Dua laki-laki yang pernah dekat dengan Dewi akhirnya
meninggalkannya untuk selama-lamanya. Begitulah naluri manusia yang selalu
mengikuti perasaan tanpa mengaitkan dengan logika. Cintailah makhluk-Nya karena
Allah. Manusia merupakan makhluk fana, sedangkan Allah sejati tak lekang oleh
waktu. Jika kita berprinsip seperti itu, kita tidak akan menggantungkan hidup
dan mati kita terhadap ciptaan-Nya. Bagai bergantung di akar lapuk, ungkapan
ini sangat cocok dengan kisah ini karena Dewi telah menggantungkan cintanya
kepada Albert yang tak kuasa memberikan cinta yang kekal. Setelah kematian
datang menjemputnya, dia pun pergi menggoreskan kesedihan di relung jiwa Dewi.
Jika Dewi ikhlas menjalani semua itu, mungkin kejadiannya tidak akan sepelik
itu. Joko pun akan bertahan hidup di dunia ini karena cinta. Jika Albert
membuka hati untuk wanita lain, dia pun akan hidup bahagia dan tidak
menyia-nyiakan waktu karena hidup ini hanya satu kali. Secara medis juga telah
terbukti bahwa dengan merasa bahagia secara mental dan fisik akan meningkatkan
fungsi kekebalan tubuh seseorang.
Nabi Muhammad SAW., menggolongkan
manusia menjadi tiga, yaitu: “Barangsiapa yang hari ini lebih baik daripada
hari kemarin maka dia adalah orang yang beruntung, barangsiapa yang hari ini
sama seperti hari kemarin maka dia orang yang merugi, dan barangsiapa yang hari
ini lebih buruk dari hari kemarin maka dia adalah orang yang celaka.” Dewi dan
Albert termasuk golongan ketiga dari hadis tersebut karena semakin hari
kehidupan mereka semakin buruk. Nabi SAW., "Pada
waktu malam saya diisrakkan sampai ke langit, Allah SWT., telah memberikan lima
wasiat, diantaranya :
1. Janganlah engkau gantungkan
hatimu kepada dunia karena sesungguhnya Aku tidak menjadikan dunia ini untuk
engkau.
2.
Jadikan cintamu kepada-Ku sebab tempat kembalimu adalah
kepada-Ku.
3.
Bersungguh-sungguhlah engkau mencari surga.
4.
Putuskan harapan dari makhluk karena sesungguhnya
mereka itu sedikitpun tidak ada kuasa di tangan mereka.
5.
Rajinlah mengerjakan sembahyang tahajud karena
sesungguhnya pertolongan itu berserta qiamullail.
Kelebihan
buku ini adalah terdapat footnote
atau catatan kaki yang memperluas cakrawala kita tentang ilmu-ilmu yang belum
pernah kita ketahui. Jadi, membaca buku fiksi, tapi seperti membaca buku
nonfiksi. Penulis berimajinasi sesuai dengan bukti autentik. Ini merupakan
terobosan baru dalam dunia sastra. Namun, dalam membaca buku ini dibutuhkan
personal yang ahli dalam berbagai disiplin ilmu. Tanpa pengetahuan yang memadai
dikhawatirkan terjadi miskonsepsi.
Pemahaman sekuler lebih ditonjolkan
dalam buku ini. Atas segala ketidakmampuannya, Albert pun berkata, “Umat
manusia, sudah lebih dari 150 ribu tahun umurnya. Berturut-turut agama pun
diturunkan, diwartakan, dipertentangkan. Manusia lebih tua dari agama. Sudah
ada cinta sejak manusia diciptakan-Nya. Cinta lebih tua dari agama. Janganlah
agama mengalahkan cinta”. Begitulah kerangka berpikir penulis yang dituturkan
lewat tokoh dalam cerita ini. Lalu, apa dasar penulis mengatakan cinta lebih tua dari agama? Sejarah masa
lalu dalam hidup manusia tidak bisa dijadikan dalil yang akurat karena
kehidupan manusia tidak sama masanya. Kita tidak bisa menghakimi suatu perkara
di zaman yang berbeda. Ada
banyak hal yang lebih tua dari agama. Apa itu berarti tidak bisa diatur oleh agama?
Justru agama datang untuk menertibkan yang lebih tua. Jika menggunakan persepsi
seperti ini, manusia pun bisa dikategorikan lebih tua daripada agama. Jadi,
manusia mana yang hidupnya tidak diatur oleh agama?
Berikut ini paham yang salah tentang
pernikahan beda agama menurut Ali (2012) dalam Mulia, dkk. (2003):
Ada
keterangan bahwa Nabi Muhammad SAW., pernah menikah dengan Maria Qibtiyah,
seorang perempuan beragama Kristen Koptik Mesir dan Sophia yang beragama
Yahudi. Para sahabat seperti Usman bin Affan menikah dengan Nailah binti
Quraqashah al-Kalbiyah yang Nasrani, Thalhah bin Ubaidillah menikah dengan
perempuan Yahudi di Damaskus, Huzaifah menikah dengan perempuan Yahudi di Madyan.
Para sahabat lain, seperti Ibnu Abbas, Jabir, Ka’ab bin Malik, dan Al-Mughiroh
bin Syu’ban juga menikah dengan perempuan-perempuan ahli kitab. Keterangan ini
disampaikan oleh Prof. Musdah Mulia, Prof. Kautsar Azhari Noer, dan Prof.
Zainun Kamal dalam Klub Kajian Agama (KKA) ke-200, yang digelar Yayasan
Paramadina pada 17 Oktober 2003 dalam laporan “Tafsir Baru atas Nikah Beda
Agama”.
Pernyataan
tersebut sangat kontradiksi dengan kenyataan sebenarnya karena tidak ada
sejarah dan ayat yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad telah menikah dengan Maria
Qibtiyah. Fakta yang terjadi adalah Maria Qibtiyah seorang hamba sahaya nabi
Muhammad yang telah diperlakukan layaknya seorang istri oleh beliau. Tradisi
pada zaman tersebut yaitu seorang hamba sahaya tidak dinikahi oleh tuannya.
Sebelum Islam diturunkan, perbudakan sangat merajalela dan tidak ada batasan
yang membatasi, artinya siapa saja bisa dijadikan budak dengan cara apapun,
seperti dirampas, diculik, dan sebagainya. Namun ketika Islam datang,
perbudakan sangat dibatasi, yaitu hanya tawanan perang yang boleh dijadikan
budak, sebab hal ini sudah menjadi konvensi internasional, orang Islam pun yang
ditawan oleh musuh akan dijadikan budak. Namun demikian, Islam sangat
menganjurkan kepada umatnya untuk memerdekakan para budak, diantaranya
dijadikan sebagai tebusan untuk membayar kafarat dalam beberapa pelanggaran
syariat, seperti kafarat sumpah, membunuh dengan tidak sengaja dan sebagainya.
Dalam Islam budak perempuan dihalalkan untuk digauli sebagaimana layaknya seorang
isteri, namun budak tersebut hanya boleh digauli oleh tuannya saja. Artinya
budak yang dimiliki oleh seorang bapak tidak boleh digauli oleh anaknya atau
siapapun juga. Bahkan apabila dia telah melahirkan anak, ummul walad, tuannya
tidak boleh menjualnya kepada yang lain, tetapi dia harus terus memeliharanya
atau memerdekakannya. Diantara dalilnya adalah ayat di atas dan beberapa ayat
berikut ini: “Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami,
kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai
ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu)
mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina” (QS.
Annisa:24). Perlu dicatat karena ayat-ayat Alquran itu diwahyukan oleh Allah
secara bertahap, masa itu hamba sahaya masih berlaku. Kita tidak bisa menghakimi
suatu perkara di zaman yang berbeda karena waktu itu belum ada pedoman yang
mengecam perlakuan terhadap hamba sahaya.
Pada
zaman dahulu pernikahan ahlul kitab–Nasrani pengikut nabi Isa, Yahudi pengikut
nabi Musa dan nabi Daud–diperbolehkan karena mereka memegang satu kepercayaan
yaitu Allah SWT. Akan tetapi, saat ini kitab Injil, Zabur, dan Taurat sudah
mengalami penyimpangan tentang penyekutuan Allah. Di dalam Injil dahulu, nabi
Muhammad sebagai penutup, sedangkan nabi Isa adalah utusan Allah. Tapi, kitab
Injil yang sekarang mengatakan bahwa nabi Isa yang dinamakan oleh mereka
sebagai yesus dianggap sebagai anak Allah. Allah sudah menghapuskan pernikahan
ahlul kitab dalam surat (Albaqarah:221) yang berbunyi: “Dan janganlah kamu
nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak
yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan
janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin)
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang
musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah
mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil
pelajaran.”
Islam membolehkan pernikahan beda agama kalau terpaksa
dan syaratnya laki-laki itu harus muslim. Denny J.A., Prof. Musdah Mulia, Prof.
Kautsar Azhari Noer, dan Prof. Zainun Kamal mengambil dalil dalam Alquran
sepotong-sepotong, jadi pemahamannya pun setengah-setengah. Jika hal ini
terjadi, kita bisa tersesat terutama kaum awam yang mudah terhasut oleh paham
baru. Contoh kutipan ayat yang hanya diambil setengah, alladinahum an solatihim saahun ‘bagi orang yang
lalai di dalamnya’, sangat jelas terlihat penyimpangannya. Hal ini merupakan
amanah dari Allah jika kita keliru dalam penyampaiannya, azab Allah sangat
pedih. Musda tidak
mengisahkan lagi kalau perempuan yang beda agama itu harus mengikuti agama
suami. Fatwa MUI menyatakan bahwa
seandainya sudah terjadi pernikahan, istri wajib ikut agama suami dan suami
harus yang muslim. Kalau pernikahan wanita muslim dengan laki-laki nonmuslim
itu jelas haram secara hukum dan syara. Musda mulia juga tidak mengerti kedudukan
nonmuslim zaman dahulu dengan sekarang itu berbeda. “Dan dihalalkan mangawini wanita yang menjaga
kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga
kehormatan di antara orang-orang yang diberi Alkitab sebelum kamu.” (Almaidah:5)
Taurat adalah tulisan berbahasa Ibrani, berisikan syariat (hukum) dan kepercayaan yang benar dan diturunkan melalui Musa. Isi pokok Taurat adalah sepuluh firman Allah bagi bangsa Israel. Selain itu, Taurat berisikan tentang sejarah nabi-nabi terdahulu hingga Musa dan kumpulan hukum. “(Tuhan Allah) telah menurunkan kitab kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab yang terdahulu dari padanya, lagi menurunkan Taurat dan Injil” (Alimran: 3). Kemudian, dikirimkanlah Zabur kepada nabi Daud yang berisi pujian untuk Allah. Namun, kitab ini tidak mengandung syariat karena Daud diperintahkan untuk meneruskan syariat yang telah dibawa oleh Musa. “Dan kami telah memberi kitab Zabur kepada Nabi Daud” (Annisa: 163). Setelah itu, muncullah Injil yang pertama kali ditulis menggunakan bahasa Suryani melalui murid-murid Isa untuk bangsa Israel sebagai penggenap ajaran Musa. Kata Injil sendiri berasal dari bahasa Yunani yaitu euangelion yang berarti ‘kabar gembira’. Injil-injil tidak mempunyai pembahasan sistematis mengenai satu tema atau tema-tema tertentu meskipun di dalamnya banyak membahas hal kerajaan Surga. “Dan Kami iringkan jejak mereka (nabi nabi Bani Israil) dengan Isa putera Maryam, membenarkan Kitab yang sebelumnya, yaitu: Taurat. Kami telah memberikan kepadanya Kitab Injil sedang di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), dan membenarkan kitab yang sebelumnya, yaitu Kitab Taurat. Dan menjadi petunjuk serta pengajaran untuk orang-orang yang bertakwa” (Almaidah 5:46). Akhirnya Allah mengwahyukan Kitab Suci Alquran kepada Nabi Muhammad saw., pelengkap dari ketiga kitab terdahulu, sebagai pedoman hidup bagi seluruh umat manusia karena di dalamnya berisi panduan filsafat semesta, catatan sejarah, peringatan-peringatan dan motivasi, dasar-dasar hukum, serta doa-doa. “Tidaklah mungkin Alquran ini dibuat oleh selain Allah, akan tetapi (Alquran itu) membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang telah ditetapkannya, tidak ada keraguan di dalamnya, (diturunkan) dari Tuhan semesta alam” (QS. Yunus:37). “Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya” (QS. Yusuf:2).
Saat ini, Taurat, Zabur, dan Injil telah diselewengkan isinya. “Dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya, di kala mereka berkata: “Allah tidak menurunkan sesuatupun kepada manusia.” Katakanlah: “Siapakah yang menurunkan kitab (Taurat) yang dibawa oleh Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia, kamu jadikan kitab itu lembaran-lembaran kertas yang bercerai-berai, kamu perlihatkan (sebahagiannya) dan kamu sembunyikan sebahagian besarnya, padahal telah diajarkan kepadamu apa yang kamu dan bapak-bapak kamu tidak mengetahuinya?” Katakanlah: “Allah-lah (yang menurunkannya)”, kemudian (sesudah kamu menyampaikan Alquran kepada mereka), biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya” (QS. Al An’am:91).Kelemahan buku ini adalah kurang utuhnya cerita yang memberikan kesan menggantung terlihat dari fakta yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad pernah menikah dengan wanita beragama Kristen. Denny seharusnya memberikan klarifikasi tentang kondisi agama dan kitabnya pada zaman dahulu hingga sekarang agar tidak terjadi indoktrinisasi dan miskonsepsi untuk para pembaca awam. Buku ini cocok untuk kaum yang sudah sangat paham tentang agama, politik, budaya, dan sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar