Minggu, 27 Januari 2013

Golden Sunrise at Dieng Plateau



           Libur semester telah tiba. Tak lengkap rasanya jika tidak melangkahkan kaki ini dalam berpetualang di alam liar. Dalam waktu satu hari, aku, Teh Yun, dan Miss Dj memutuskan untuk menjelajahi kawasan Dieng karena holiday kali ini bertepatan dengan hari pernikahan sahabatku, Risdha Diana yang berlokasi di Payaman, Jawa Tengah. Alhamdulillah untuk transportasi ada yang berbaik hati meminjamkan avanza sepaket dengan sopirnya.
            Jumat, 28 Desember 2012, pukul 08.00 WIB kami berangkat. Perjalanan Sukabumi – Magelang via jalur selatan. Selama dalam perjalanan, aku melihat banyak tragedi kecelakaan. Di kawasan Cipatat, kami melihat sebuah mobil kijang inova menabrak rumah warga. Kondisi kaki pengendaranya bersimbah darah dengan ekspresi wajah yang memilukan. Tragedi berikutnya yaitu terbaliknya dua buah mobil tronton karena overload membawa kayu dan pasir di daerah Cirebon.
            Pukul 18.00 kami singgah di sebuah masjid kawasan Wanareja, perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah untuk salat magrib dan isya. Setelah itu, kami mampir ke kedai sate untuk makan malam. Usai menikmati kuliner tersebut, kami langsung melanjutkan perjalanan. Suara Boyce Avenue, Christina Perry, David Archuleta, Daniel Bedingfield, Nidji, Gigi, Brian MC Knight, serta derasnya air hujan menyelimuti kami dalam lelapnya tidur.
            Jam 24.00 kami rehat sejenak untuk membersihkan muka dan sikat gigi di sebuah POM bensin daerah Purwokerto. Alhamdulillah, akhirnya sampai juga di rumah calon manten tepat pukul 02.30 dini hari. Kami pun langsung tepar di balik selimut tebal.
            Sabtu, 29 Desember 2012, pukul 07.00 Prosesi akad Risdha dan Taufiq dimulai. Suasana begitu hening dan khidmat. Time to pray... “Salah satu waktu yang baik untuk memanjatkan doa adalah ketika prosesi akad nikah karena semua malaikat menjadi saksi dan ikut mengaminkan doa kita”. Happy wedding ya sahabatku, semoga menjadi keluarga samara. Selanjutnya, makan-makan dan pemotretan hehehe.....
            Kami langsung tancap gas ke Dataran Tinggi Dieng. Di sinilah mulai penjelajahan kami. Payaman – Secang – Temanggung – Wonosobo – Banjarnegara – Dieng. Kami berhenti di sebuah masjid kawasan Dieng. Seorang guide menghampiri kami, lalu ditunjukkan beberapa homestay untuk kami bermalam di sana. Akan tetapi, cukup sulit juga menemukan yang kosong karena semuanya nyaris sudah di-booking. Akhirnya, kami pun menemukan Homestay Hinggil yang cukup dekat dengan jalan raya dan masjid, yang terpenting adalah terdapat sarana air panas karena cuaca di sana sangat dingin. Harga homestay tersebut Rp150.00,00 per malam. Menu makan malam pada waktu itu adalah mie ongklok, susu jahe, dan martabak telur.
            Minggu, 30 Desember 2012, Pukul 04.00 pagi kami mendaki untuk melihat keeksotisan golden sunrise at Dieng Plateau. Tanpa sarapan, kami nekat melakukan eksplorasi itu. Mendaki dan terus mendaki, walau lelah dan terjal, tetap semangat. Akhirnya kami tiba di puncak (Bukit Sikunir) tepat waktu. Dieng adalah kawasan vulkanik aktif dan dapat dikatakan merupakan gunung api raksasa dengan beberapa kepundan kawah. Ketinggian rata-rata adalah sekitar 2.000 m di atas permukaan laut. Suhu berkisar 15—20 °C di siang hari dan 10 °C di malam hari. Pada Musim Kemarau (Juli dan Agustus), suhu udara dapat mencapai 0 °C di pagi hari dan memunculkan embun beku yang oleh penduduk setempat disebut bun upas ‘embun racun’ karena menyebabkan kerusakan pada tanaman pertanian. Kawasan Dieng merupakan penghasil sayuran dataran tinggi untuk wilayah Jawa Tengah. Kentang adalah komoditas utama. Selain itu, wortel, kubis, dan berbagai bawang-bawangan dihasilkan dari kawasan ini. Selain sayuran, Dieng juga merupakan sentra penghasil carica ‘pepaya gunung’ dan jamur.
            Sang surya pun muncul, langsung kusambut dengan camera pocket-ku. Setelah semua momen terekam sempurna di balik lensa kameraku, kami pun beranjak turun. Mie rebus, cilok goreng, kentang goreng, dan Purwaceng Susu (minuman tradisi kuno dataran tinggi dieng yang terbuat dari rempah-rempah dan susu) memberikan suntikan energi untuk tubuh kami. 

 Sunrise at Sikunir Hill

 Negeri di atas awan @Bukit Sikunir

 Kami berada di 2000 m di atas permukaan laut
 Bukit Sikunir

 Panorama Dataran Tinggi Dieng di atas Bukit Sikunir
 Telaga Cebong
Tempat parkir kawasan DTD


Tak hanya berhenti di Bukit Sikunir, petualangan kami berlanjut ke Telaga Warna. Cukup membayar Rp9000,00 (Rp7.000,00 untuk tiket masuk dan Rp2.000,00 untuk masker) kami bisa menikmati keindahan telaga ini. Menurut warga sekitar, berbagai warna yang muncul di telaga ini konon diakibatkan oleh jatuhnya batu perhiasan seorang bangsawan ke dalam telaga. Akibatnya, warna air di telaga ini menjadi beraneka ragam. Akan tetapi, secara ilmiah warna-warna yang tampak dari telaga ini diakibatkan oleh adanya kandungan batu belerang di dalamnya. Ketika terkena matahari, warna ini akan dibiaskan dan ditangkap oleh mata menjadi warna-warna seperti merah, hijau, biru, putih, lembayung. Di area ini juga terdapat banyak gua untuk bersemedi.


 Telaga Warna

Panorama Pohon Pinus dan  Telaga Warna
  Foto dulu.... :D




Tak lengkap rasanya jika ke Dieng Plateau tidak mampir ke Kawah Sikidang. Dengan uang Rp30.000,00 untuk tiga orang, kami sudah bisa menikmati Kawah Sikidang dan Kompleks Candi Arjuna. Sikidang adalah kawah yang paling populer dikunjungi wisatawan. Kawah ini terkenal karena lubang keluarnya gas selalu berpindah-pindah di dalam suatu kawasan luas. Dari karakter inilah, namanya berasal karena penduduk setempat melihatnya berpindah-pindah seperti kijang (kidang dalam bahasa Jawa). Ketika kami beranjak pergi dari kawah, terdapat sekelompok gatot kaca beserta kereta kencananya. Ya... jika mau berfoto dengan mereka, harus membayar Rp5.000,00. Tapi, aku nggak berani karena kostum mereka yang menyeramkan.


View Kawah Sikidang





Saat mendekati parkiran mobil, tiba-tiba Teh Yun muntah. Aku dan Dj panik dan diam sejenak untuk memulihkan kondisinya. Setelah agak baikan, kami pun melanjutkan perjalanan ke Kompleks Candi Arjuna. Sesampainya di sana, Teh Yun sudah terkulai lemas dan tak sanggup untuk berjalan. Akhirnya, dia menunggu di mobil dengan sopir. Aku, Dj, dan Pak Guide terus berjalan menikmati view perkebunan kentang, Kompleks Candi Arjuna, Bukit Tubbies, dan Museum Kailasa. Untuk menghilangkan rasa dingin, kami membeli jagung bakar dengan harga Rp4.000,00. Setelah puas menikmati pemandangan di sana, kami pun kembali ke penginapan.

 Perkebunan kentang

Museum Kailasa










 Perjalanan menuju Kompleks Candi Arjuna
 Bukit Tubbies

Kompleks Candi Arjuna




Oh.... ternyata. Sakit Teh Yun berkelanjutan. Kami pun memanggil tukang pijat. Kondisi lumayan mereda. Kami langsung menuju ke Yogyakarta. Akan tetapi, di tengah perjalanan daerah Salaman, Teh Yun sudah tak berdaya. Kami pun singgah di sebuah masjid. Sambil berpikir antara melanjutkan perjalanan ke Yogya atau langsung ke Pangandaran atau mampir ke rumah teman, tiba-tiba ada tabrakan motor antara vario dan honda beat yang dikendarai oleh perempuan. Spontanitas aku berlari menghampiri si korban. Alhamdulillah, semuanya selamat, hanya luka-luka kecil saja. Kembali ke Teh Yun, dia masih muntah-muntah. Aku miris melihatnya. Akhirnya, kami memutuskan ke Klinik saja agar Teh Yun mendapatkan perawatan intensif.
Alhamdulillah tidak begitu sulit untuk mencari klinik di daerah itu walaupun kondisi fasilitas dan bangunannya seadanya. Kami langsung menuju ruang UGD sambil memboyong Teh Yun. Lambungnya masih menolak makanan. Obat yang masuk pun dimuntahkan kembali seutuhnya. Kami terus menunggu hingga kondisi membaik, namun belum ada perubahan juga. Kami memutuskan untuk mencari hotel agar Teh Yun mendapatkan perawatan maksimal. Perjalanan kami ke arah Purworejo. Akhirnya, ditemukanlah Hotel Bagelen. Perlahan tapi pasti, obat dan makanan bisa diterima oleh lambungnya. Keesokan harinya, alhamdulillah Teh Yun pulih total. Kami segera meluncur ke Pangandaran.

 Teh Yun terbaring lemas tak berdaya 
di UGD Puskesmas Salaman hiks.....:(


Senin, 31 Desember 2012, pukul 15.00 kami tiba di Pangandaran. Namun, kondisi begitu pengap. Lautan dijubeli banyak pengunjung, parkiran penuh, susah bergerak. Kami tidak nyaman. Pukul 20.00 kami memutuskan untuk pulang saja ke Sukabumi.



Pangandaran Beach

Yap.... perjalanan yang cukup melelahkan dan menyenangkan :)